Tuesday, July 25, 2017

Sejarah Homo Sapiens

Judul Buku: Sapiens
Sejarah Ringkas Umat Manusia dari Zaman Batu hingga Perkiraan KepunahannyaJudul Asli: Sapiens: A Brief History of Humankind
Pengarang: Yuval Noah Harari
Penerjemah: Yanto Musthofa
Penerbit:Pustaka Alvabet
Cetakan I: Juli 2017
Tebal: 503 Halaman + x
Harga: Rp. 99.000,-


DISCLAIMER: Buku ini tidak direkomendasikan bagi pembaca yang mengidap alergi pada karya-karya orang Yahudi.



Ini buku terjemahan terbaru saya, karya Yuval Noah Harari, sejarawan, dosen pada Hebrew University of Jerusalem. Ia kelahiran 24 Februari 1976 (ternyata, saya sudah tua ya). Dalam buku setebal 500-an halaman ini, ia mengetengahkan untaian sejarah Homo sapiens sepanjang 70.000 tahun. Ringkas, tapi seru. Seperti pernah saya tulis dalam status di Facebook beberapa waktu lalu, pikiran bagai diaduk-aduk, pemahaman baku terasa dibentur-benturkan, logika-logika dibiarkan berantem sendiri, dan beragam informasi dikemas dalam bahasa yang provokatif.

Harari mengonstruksi paparannya mengikuti tiga tonggak penting sejarah umat manusia yang dia sebut revolusi: Revolusi Kognitif, Revolusi Agrikultur, dan Revolusi Saintifik. Ketiga revolusi itulah, kata dia, yang memengaruhi manusia dan sesama organisma penghuni bumi, sejak berstatus sebagai "binatang tak signifikan", lalu (diduga penyebab) musnahnya binatang-binatang purba, kemunculan bahasa, aksara, uang, ekspansi imperium dan persekutuan abadinya dengan ilmu pengetahuan, sampai (prediksi) punahnya manusia.

Mungkin kening Anda akan berkerut saat membaca bahwa kelangkaan energi adalah sesuatu yang hanya ada dalam teori. Tapi, Harari menyodorkan fakta-fakta bahwa dalam setiap beberapa dekade manusia menemukan sumber energi baru, sehingga jumlah persediaan energi terus bertambah. Isu energi hanyalah salah satu gambaran yang disodorkan Harari tetang bagaimana manusia bertransformasi dari kumpulan makhluk di salah satu sudut Afrika yang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan binatang-binatang raksasa, menjadi penguasa planet. 

Transformasi itu, dari yang mengagumkan sampai yang mengerikan, mengalir seiring dengan tumbuhnya teknologi. Betapa tidak mengerikan? Demi melayani hasratnya, manusia sudah sampai pada tingkat mengguncang-guncang jagad etis, politis dan ideologis. Bukan hanya kaum agamawan taat yang cemas dengan "upaya perebutan peran Tuhan" melalui rekayasa genetika. Para aktivis pecinta binatang sudah lama meneriakkan penderitaan binatang-binatang dalam lab yang direkayasa dengan pengabaian total hasrat serta kebutuhan binatang-binatang itu. Para aktivis hak-hak azasi manusia pun ngeri dengan potensi rekayasa klon tentara tanpa rasa takut dan pekerja patuh total. Dan, dengan terawangan ilmu sejarahnya, Harari memprediksi revolusi saintifiklah yang akan "mengakhiri sejarah manusia dan memulai sesuatu yang benar-benar berbeda". 

Harari lahir dalam keluarga sekular Yahudi yang berleluhur Eropa Timur. Mungkin latar belakang itu membuat Harari leluasa menyajikan berbagai konstruk-konstruk simpulan yang terbebas dari doktrin agama atau keimanan tertentu. Sungguhpun begitu, Harari tetap berusaha dingin dalam menjelaskan tentang agama sebagai bagian penting dalam sejarah evolusi peradaban manusia. Agama, menurut dia, adalah instrumen pemersatu terbesar ketiga bagi manusia, setelah uang dan imperium. Jadi, tak peru baper kalau konstruk-konstruk pemikiran Harari bertentangan dengan keyakinan agama. Tapi, kalau Anda kesengsem dengan kelincahan bahasa bertuturnya, ya... mau bagaimana lagi?

Saturday, February 4, 2017

Sabarnya Para Guru Batutis

Sekolah Batutis Al-Ilmi di Pekayon Bekasi sering saya sebut dalam tulisan saya sebagai kampus universitas kehidupan. Sebutan itu bagi sebagian orang mungkin lebih terkesan sebagai sebuah metafora. Namun, kesempatan yang diberikan kepada saya (oleh kedua guru-sahabat saya, Bapak Yudhistira Massardi dan Ibu Siska Yudhistira Massardi) untuk sering berada di sana sesungguhnya adalah kesempatan belajar dalam arti harfiah. Entah itu saat melakukan observasi, membantu riset pustaka, menulis artikel untuk majalah, menyusun buku, atau (apalagi) membantu kegiatan pelatihan bagi para guru dari berbagai daerah di Indonesia.
Salah satu bagian pokok dalam aktivitas belajar saya di kampus itu adalah berinteraksi dengan para guru Sekolah Batutis. Selalu menyenangkan, mengejutkan, inspiring dan menantang. Setelah mendengarkan cerita kemajuan belajar seorang anak, misalnya, saya terdorong untuk membuka-buka literatur dan menemukan penjelasan ilmiahnya yang dalam.
Demikian pula, setelah mendengarkan cerita hasil observasi para guru peserta pelatihan, saya akan menikmati diskusi saintifik yang mendalam bersama sang trio master trainer dan trainer Metode Sentra: Ibu Siska, Mbak Taya dan Pak Yudhistira. Baik saat pelatihan, atau obrolan di rumah. Saya berdiskusi, membaca teori-teori dalam buku dan artikel, dan menemukan bentuk situasinya yang nyata di Sekolah Batutis Al-Ilmi.
Durasi pelatihan-pelatihan Metode Sentra (Modul 1, Modul 2 dan Modul 3) di Sekolah Batutis bisa dibilang tidak lama. Lima hari. Namun, dengan jadwal yang padat dan ketat, dari observasi, diskusi, dan simulasi serta micro-teaching, para peserta mendapatkan pemahaman paradigmatik, dasar-dasar teori dan “alat kerja” sekaligus untuk menerapkan Metode Sentra.
Jadi, ini bukan sejenis pelatihan yang bisa dilakukan dengan gaya “nitip absen”, lalu yang penting mendapatkan sertifikat buat nambah kredit portofolio kerja. Bukan. Ini pelatihan yang membuat para guru peserta tak akan mau berleha-leha. Dan bukan kebetulan bahwa para peserta, termasuk yang jauh-jauh datang dari Surabaya, Sidoarjo, Tuban, Malang, Lampung, Bengkulu, Balikpapan, bahkan Manado, rata-rata mengikuti pelatihan dengan inisiatif dan atas biaya sendiri –atau sekurang-kurangnya diutus oleh pengelola sekolah yang berniat serius hijrah dari model konvensional ke Metode Sentra.
Salah satu kesan yang kerap muncul mula-mula dari para peserta pelatihan adalah, “kok bisa, ya para guru Batutis begitu sabar menghadapi anak-anak.” Namun, seiring dengan berjalannya proses pelatihan , para peserta segera memahami bahwa para guru Batutis adalah guru-guru biasa. Ya, sudah pasti mereka bukan manusia-manusia super.
“Stamina” kesabaran dan ketelatenan para guru Batutis sejatinya adalah wujud dari pemahaman akan proses, rute  dan tujuan pembelajaran anak, serta bagaimana cara menjalaninya. Bayangkanlah kita menghadapi situasi rumit tanpa tahu ke mana muaranya dan untuk apa dihadapi, atau menanti sesuatu tanpa tahu kapan penantian berujung dan tak tahu harus berbuat apa. Siapapun kita tentu segera kehabisan energi sabar.
Sabar, sebagaimana definisi yang diajarkan dalam Al-Qur’an, melekat dalam pribadi orang-orang yang khusyu’. Siapa orang yang khusyu’? “(yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” [Q.S.2:46). Orang yang khusyu’ adalah orang yang sadar tujuan, visioner, berorientasi masa depan, mengetahui ke mana akan menuju dan tahu bagaimana mencapai tujuannya.
Begitulah pelajaran yang saya peroleh dari kesabaran para guru Batutis. Saya beruntung mendapatkan kesempatan menjadi penutur salah satu resep kesabaran para guru Batutis, yaitu berbahasa. Para guru Batutis memahami proses (tahap perkembangan anak) dan bagaimana menerapkan praktik berbahasa yang tepat dalam situasi yang tepat.
Semoga setiap manfaat –seberapapun kecilnya– yang muncul dari penuturan saya dalam buku Bahasa Mencerdaskan Bangsa menjadi amal jariyah bagi mereka. Semoga Allah swt senantiasa menjaga mereka dalam kesentosaan lahir-batin yang istiqamah, dan meridhai perjuangan mereka. Amin Allahumma Amin.

img-20170128-wa0002
Para Guru TK Batutis Al-Ilmi


img-20170121-wa0002
Para Guru SD Batutis Al-Ilmi
iklan-terbit


https://ymusthofa.wordpress.com/2017/02/03/sabarnya-para-guru-batutis/

Sunday, August 14, 2016

Buku Tebal dan "Mihil", Tapi Laku

Ada buku tebal dengan materi yang cukup berat, dan harga cukup lumayan, namun laris di tengah masyarakat yang tingkat minat baca rendah seperti di Indonesia. Dari sudut pandang pemasaran penerbit buku, bisa jadi itu sebuah anomali yang tak mudah dijelaskan. Bisa karena daya tarik materi buku, "kebetulan" materinya berkaitan dengan isu yang sedang hangat, atau semata-mata karena daya tarik pengarangnya. Atau sebab-sebab lain.

Saya ingin bercerita tentang tiga buku yang saya terjemahkan dari pengarang yang sama, Simon Sebab Montefiore. Yang pertama, novel sejarah Sashenka dengan setting situasi politik masa pergerakan Revolusi Bolshevik. Yang kedua Stalin: Kisah-kisah yang Tak Terungkap, kisah hidup salah satu pemimpin pemerintahan paling kejam di abad ke-20. Yang ketiga, Jerusalem Biography, riwayat 3.000 tahun kota suci tiga agama sejak Nabi Dawud (Raja David).



Ketiganya tergolong tebal, masing-masing 650 halaman, 920 halaman dan 912 halaman. Harga novelnya dibandrol Rp. 99 ribu sedangkan kedua buku lainnya masing-masing Rp. 169 ribu. Namun, di pasaran ternyata langkah novel tak seringan harganya, jauh tertinggal oleh Stalin dan Jerusalem. Yang disebut terakhir malah dalam satu bulan cetakan pertamanya di tahun 2012 buku itu ludes dan tahun ini cetak ulang yang ke-11. Stalin tak segesit Jerusalem, tapi sejak terbit perdana tahun 2011, saat ini masih bisa mejeng di toko buku. Artinya, pembelinya masih terus datang.

Anomali? Bisa saja. Tapi gejala ini bisa dilihat (sebagian) sebagai pertanda adanya ketimpangan dalam masyarakat. Di satu sisi, ada kalangan pecinta buku yang jumlahnya minimalis tapi tak mempan kendala harga. Di sisi lain, mayoritas warga negeri berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa ini tak terpikat buku, mau novel, buku ringan-tipis, berat-tebal, murah, mahal,....sama saja. Tidak menarik.

Tantangan bagi penerbit buku sepertinya semakin berat di tengah deras dan berlimpahnya arus budaya media sosial dalam abad teknologi digital-mobile. Porsi jumbo mayoritas masyarakat yang tadinya tidak cinta buku akan semakin asyik dengan penyebaran informasi instan dan cepat tanpa bikin otak berkeringat. Baca judul tanpa mengunyah isi berita. Getok tularkan provokasi, pikirkan akibat belakangan.

Bagi saya pribadi, sebagai pekerja perbukuan, membaca buku tebal-tebal seperti karya Montefiore bukannya tidak berat. Tapi, seumpama "rejeki anak sholeh", diluar bagian pokok berupa honor menerjemahkan, insentif yang tak ter-rupiahkan adalah belajar dan memperkaya citarasa bahasa, serta mengangsu ilmu. Montefiore, seorang akademisi Inggris berdarah Yahudi, sejarawan-peneliti yang cermat-energetik, sekaligus pendongeng ulung, adalah sumur ilmu. Menurut saya. Ga tahu kalau mas anang.

Thursday, July 28, 2016

Spesies Baru Bisnis Dunia: Monster-monster Mungil Pelumat Raksasa



DATA BUKU



Judul                     : How to Build a Billion Dollar App: Temukan Rayasia dari para Pengusaha Aplikasi Paling Sukses di Dunia
Penulis                 : George Berkowski
Penerjemah       : Yanto Musthofa
Penerbit              : Gemilang
Cetakan               : I Juli 2016
Tebal                     : 582 halaman
ISBN: 978-602-71503-7-9
Harga                    : Rp. 99.000,-




Dalam dua hari terakhir ini, di linimasa akun facebook saya berseliweran berita tentang tragedi memilukan Yahoo!, yang terjual dengan harga merana 65 triliun rupiah saja. Tega banget, ya Verizon, sang pembeli.

Mau bagaimana lagi? Valuasi raksasa itu memang sudah remuk. Padahal, tahun 2000 Yahoo masih berharga 1300 triliun. Enam tahun lalu, Microsoft masih menawar 650 triliun, tapi tawaran itu dilepehin. Ternyata sekarang harganya sepersepuluh tawaran Microsoft.

Banyak orang membingkai tragedi Yahoo dengan istilah kekinian "innovator dilemma". Ringkasnya, perusahaan-perusahaan raksasa limbung dan tumbang tanpa daya akibat keangkuhan, tanpa mau melihat perubahan-perubahan yang terjadi di luar sana. Itu pula yang terjadi pada Nokia dan Sony.

Tapi, setelah membaca buku baru karya George Berkowski ini, saya lebih suka menyebut tragedi Yahoo adalah bukti dahsyatnya sebuah gelombang besar di bawah permukaan dunia bisnis. Gelombang itu kini bergerak cepat, mengikuti gerak cepat perubahan teknologi informasi.

Dan, energi penggerak gelombang itu bukan lagi raksasa-raksasa gurita dengan gerakan yang lamban. Yang menggerakkan adalah monster-monster mungil yang lincah. Gerakannya lebih cepat dari bayangannya. Tiba-tiba orang-orang terpana ketika lilitan kabel strum monster itu menyengat dan mengguncang papan skor daftar jawara bisnis dunia.


Monster itu bisa lahir kapan saja dan di mana saja. Bisa di jantung inovasi IT dunia Silicon Valley, bisa di Finlandia, bisa di Inggris. Tapi, begitu cangkang telurnya pecah, daya strum monster bisa menjangkau dengan cepat melintasi samudera dan batas-batas negara di berbagai penjuru dunia.

Semakin akrab dengan kehidupan manusia, semakin digdayalah monster-monster itu. Ya, startup IT adalah spesies baru bisnis yang menciptakan gelombang baru. Tiba-tiba nama-nama besar yang sepuluh atau bahkan lima tahun lalu belum dibuat kini hadir setiap detik di gerbong kereta api, di ruang tunggu bandara, di kantor-kantor, di tempat tidur, di kamar mandi... di manapun.

Nama-nama itu begitu dekat, mengiringi detik demi detik kehidupan. Instagram, Snapchat, Angrybirds, Candy Crush, Uber, Twitter, Whatsapp... monster-monster itu berlomba-lomba menjadi pelayan terbaik dalam kehidupan manusia; berlomba-lomba memberi layanan eksklusif tiada duanya.

Jika Anda sekarang akan atau sedang membangun startup IT, mungkin Andalah jenis orang yang paling cocok dengan materi buku Berkowski ini. Sebab, meskipun dia wanti-wanti bahwa berbisnis harus sabar, Berkowski sendiri sangat sabar menjelaskan jengkal demi jengkal rute menuju bisnis app bernilai miliaran dolar.

Tapi, saya sebagai penyuka isu-isu pendidikan membaca dengan cemas setiap inci sajian Berkowski ini. Cemas, karena apa yang dia gambarkan sesungguhnya adalah gelombang perubahan cepat nan dahsyat.

Begitu cepatnya, sehingga saya tidak bisa membayangkan bagaimana sekolah-sekolah Indonesia mampu lebih baik dari sekadar melihat kelebat bayangan geraknya. Konon, sekolah didesain bahkan sejak jenjang paling bawah (usia dini) agar sesuai dengan "TUNTUTAN ZAMAN".

Tapi, sampai saat ini, sampai detik ini, aparatur pemerintah dari pusat sampai pelosok masih sibuk dengan penyeragaman kurikulum, tergopoh-gopoh menyiapkan buku ajar, terpesona dengan ujian nasional berkomputer, pura-pura linglung tentang gaji guru honorer, dan tentu saja berseri-seri menghitung proyek bisnis yang menyertai setiap kebijakan.



Jangan-jangan sekolah-sekolah formal Indonesia terkena sindrom "innovator dilemma". Ah, inovator dari Hongkong????!!!!

Saturday, October 24, 2015

Menulis Resensi Buku, Yuk!



Menulis resensi buku adalah pintu pertama saya untuk menulis di media massa. Tak terkirakan senangnya perasaan saat resensi pertama saya dimuat di Harian Umum Pelita di tahun 1988, dengan honorarium Rp. 10.000. Begitu senangnya, honorarium itu, yang lumayan buat ukuran kantog mahasiswa dari kampung, saya abadikan menjadi (untuk membeli) meja dan kursi belajar.

Di kemudian hari, saya pun merasakan menulis resensi menjadi cara yang uinuk bin enak bingitz untuk menambah koleksi buku. Penerbit akan dengan senang hati mengirim tiga sampai lima buku baru sekaligus, jika kita memberitahu resensi kita dimuat di media massa. 

Tapi, manfaat non-material yang tak terkirakan adalah pengayaan keterampilan berbahasa tulis. Ya, tentu saja, karena menulis resensi berarti menulis pengalaman membaca buku. Membaca buku berarti secara langsung maupun tidak langsung menyerap kekayaan penulis buku, mulai dari kekayaan informasi, pengetahuan, diksi, susunan kalimat, alur paragraf, distribusi bab, sampai gaya akrobatik penulisan.... entah apalagi, pokoknya banyak.

Sampai saat menjadi pekerja di dunia penerbitan pers dan kemudian penulis lepas pun, saya masih suka menulis resensi buku. Tapi sayang, saya termasuk orang yang tidak rapih mengarsip tulisan. Saya kesulitan menemukan kembali resensi buku yang pernah saya tulis. Itu sebabnya, saya hari ini memulai blog TIMBANG BUKU. 

Tujuannya, selain memperturutkan keasyikan menulis pengalaman membaca buku, saya juga ingin bertukar informasi tentang buku baru dengan sebanyak mungkin teman --tentu saja teman yang sudi mampir dan menulis resensi buku di blog ini. Semoga saja ada teman yang mau.

Berikut ini adalah salah satu resensi yang pernah saya tulis, dan dimuat di tabloid sisipan Ruang Baca (Koran Tempo) pada tanggal 12 September 2005. 

Satu Sudut Almari Sejarah Sastra Amerika

Judul Buku: The Dante Club
Judul Asli: The Dante Club: A Novel
Penulis: Matthew Pearl
Penerjemah: Agung Prihantono
Penerbit: Q-Press Cetakan I: Agustus 2005 Tebal: 614 halaman
Peresensi: Yanto Musthofa

Ruang Baca (Koran Tempo), 12 September 2005

Khazanah kesusastraan Amerika mengenal triumvirat begawan Brahmin Boston–sebutan bagi kaum elite berpendidikan Harvard. Mereka adalah Henry Wadsworth Longfellow (1807-1882), James Russel Lowell (1819-1891), dan Oliver Wendell Holmes (1809-1694). Mereka memelopori aliran yang memadukan tradisi trans-Atlantik Amerika dan Eropa.

Bersama satu tokoh lainnya, James Thomas Fields, mereka menjalin persahabatan istimewa. Fields sendiri pengarang dan editor di dua majalah berpengaruh, The Atlantic Monthly dan The North American Review. Tapi dia juga juragan penerbit sukses, Ticknor & Fields. Kedua majalah dan penerbit itu menjadi ladang kreasi sang triumvirat.

Di tangan Matthew Pearl, persahabatan itu lahir menjadi cerita fiksi yang menghebohkan lewat karya perdananya, The Dante Club. Pearl, lahir pada 1975, lulus dari Universitas Harvard dengan yudisium summa cum laude bidang sastra Inggris dan Amerika pada 1997. Fiksi sejarah ini mulai ditulisnya sewaktu dia masih kuliah di Universitas Yale, tempat dia meraih gelar doktor bidang hukum (JD) pada tahun 2000.

Pearl mengisahkan, para kampiun sastra Harvard itu bertemu dalam satu kepedulian yang meluap-luap pada Dante. Dante Alighieri (1265-1321) adalah penyair Fiorentina yang terkenal dengan karyanya, Divina Commedia. Pada 1865, mereka sepakat menggarap proyek ambisius penerjemahan syair-syair Dante, walau harus menghadapi represi kaum birokrat Korporasi Harvard yang sangat berkuasa.

Maklum, sebagai entitas sastra Italia, Dante tak luput dari setumpuk stigma negatif waktu itu. Bahasa Italia, Jerman, dan Spanyol lekat dengan citra ambisi politik murahan dan amoralitas dekaden Eropa. Bahkan Dante dicap terlalu Katolik bagi Universitas Harvard (hlm. 56 dan 69).

Fields diintimidasi Korporasi agar urung menerbitkan terjemahan itu. Ancamannya, kontrak dengan Harvard akan diputus. Tapi Fields tak surut. Lewat majelis yang bertemu saban Rabu malam di Craigie House, kediaman Longfellow, syair-syair Dante terus didiskusikan untuk diterjemahkan. Karya Dante, bagi mereka, adalah harta karun yang harus diperkenalkan pada Amerika.

Di tengah jalan, proyek Klub Dante menghadapi ancaman serius. Tiba-tiba pembunuhan sadis berantai muncul di Boston dan Cambridge. Para anggota Klub Dante tercengang ketika tahu gaya dan cara pembunuhan itu menyontek habis Bab Inferno (Neraka), bagian penting buku Commedia.

Dalam pelacakan kasus itulah Pearl menyelipkan tokoh fiksi Nicholas Rey, polisi kulit hitam pertama dan satu-satunya di Boston. Di abad ke-19? Pearl tak mengada-ada. Massachusetts adalah negara bagian pertama yang menghapus perbudakan, walau di sini pula sebetulnya perbudakan mengawali sejarahnya di Amerika. Walhasil, pada 1865 yang menjadi setting kisah Pearl, Boston memang sudah lebih maju menyangkut dinamika gerakan dan partisipasi kulit hitam dalam kehidupan ber-Amerika.

Toh, Pearl tetap “menjaga” perspektif sejarah dengan menyisakan iklim diskriminatif yang melingkupi Rey. Tak seperti opsir polisi lainnya yang berkulit putih, Rey tak boleh memakai seragam, membawa senjata apa pun kecuali pentungan, atau menangkap orang kulit putih tanpa bersama polisi lainnya (hlm. 94).

Untuk karya bestseller versi The New York Times dan segepok media terkemuka Amerika ini, pujian selangit datang dari Dan Brown, pengarang The Davinci Code. “Mathew Pearl adalah bintang baru yang cemerlang di jagat fiksi,” kata Brown.

Pearl pandai menjaga plot, lincah mengerahkan kedigdayaan risetnya untuk mengatur suspense dan ayunan misteri sepanjang novel. Pearl seperti pemandu ulung ketika mengajak pembaca berkelana di jalan-jalan berdebu Boston dan Cambridge yang dilindas kereta-kereta kuda. Atau, bertamasya menyusuri nuansa kuliah Universitas Harvard abad ke-19, melongok interaksi eksotis antara dosen dan para mahasiswanya (hlm. 124-130).

Syukurlah, meski tidak luar biasa, versi terjemahan bahasa Indonesia ini pantas diacungi jempol karena kenikmatan dan kejutan yang disuguhkan Pearl tetap terjaga dan bisa dikunyah seutuhnya.